Pages

Monday, July 6, 2020

Serendipity [Oneshot Story]



Aku pikir aku sudah terbiasa dengan kesendirian. Aku pikir aku tidak membutuhkan orang lain agar aku merasa bahagia. Aku pikir diriku sendiri sudahlah cukup. Aku pikir segalanya akan baik-baik saja selama aku fokus dengan diriku sendiri. Namun, aku tidak pernah menyangka satu kata sapaan saja dapat membuatku mempertanyakan kembali apakah yang aku pikirkan selama ini merupakan suatu kebenaran, ataukah sekedar apa yang ingin aku percayai saja. Aku mulai ragu bahwa bisa saja aku tidak sepenuhnya benar. Bahwa mungkin tanpa aku sadari, aku sedang menunggu seseorang untuk datang kepadaku…

       “Helen, kau sedang apa? Cepat kemari!”
Aku merasa udara malam ini cukup sejuk. Langit Surabaya tampak cerah hingga kau bisa melihat bulan dengan jelas. Oh, sejak kapan aku memperhatikan hal-hal semacam ini? Aku bahkan tidak pernah peduli untuk memandang bulan sebelumnya.
“Helen, jika tidak cepat kita akan kehilangan tempat yang strategis!”
Di tengah hiruk pikuk orang-orang yang memadati jalanan di sekitar Balai Kota Surabaya ini, aku masih bisa mendengar suaranya dengan jelas. Suara yang kini terasa familiar memenuhi setiap hari-hariku. Suara favoritku. Bahkan mendengarnya saja secara ajaib dapat membuatku tersenyum.

♪♪♪♪♥♥♥♪♪♪♪

Hari ini akan berlalu seperti biasanya, begitulah yang aku pikirkan. Walaupun sepertinya cukup banyak siswa sekolah yang menantikan tahun ajaran baru, tapi hari seperti itu tidak berpengaruh banyak terhadapku. Papa akan mengantarku ke sekolah seperti biasa, aku akan menghabiskan waktu dengan memperhatikan guru menerangkan pelajaran di kelas dan aku akan pergi ke perpustakaan selama jam istirahat. Sama seperti tahun ajaran sekolah sebelumnya. Dan sebelumnya lagi. Aku rasa setiap tahun selalu begitu.
Aku menghabiskan sepiring nasi goring dengan irisan sosis dan daging ayam dengan lahap. Salah satu menu catering kesukaanku. Mama meninggal sejak aku kelas 3 SD. Aku hanya tinggal berdua dengan Papa di rumah. Namun Papa terlalu sibuk bekerja untuk menyiapkan makanan sehingga kami berlangganan catering yang diantarkan ke rumah tiap pagi. Sudah lama Papa tidak mempekerjakan asisten rumah tangga karena beberapa ART sebelumnya banyak menimbulkan masalah. Mbak Risa yang mengasuhku dulu masih cukup muda, ia tidak terlalu pandai memasak dan lebih sering menghabiskan waktu berpacaran dengan laki-laki yang bekerja di bengkel dekat dengan rumah. Mbok Nah yang merawatku sebelumnya cukup baik, makanannya juga enak, namun Papa mendapati beberapa barang berharganya hilang dan langsung memberhentikan Mbok Nah begitu menemukan salah satu jam tangannya ada di meja di kamar Mbok Nah. Sejak saat itu kami tidak pernah memiliki asisten rumah tangga lagi dan berbagi tugas dalam pekerjaan rumah.
Papa tampak sudah siap untuk berangkat dengan jas kerjanya yang terlihat rapi di tubuhnya. Aku mengikuti Papa keluar dari rumah dan tidak lupa mengunci pintu. Jalanan menuju sekolah belum terlalu padat. Hanya membutuhkan waktu lima belas menit dengan kendaraan bermotor untuk sampai di sekolah. Aku mengembalikan helm kepada Papa sambil mencium tangannya. Kemudian menunggu sepeda motor Papa berbelok di pertigaan jalan dan hilang dari pandanganku sebelum akhirnya aku melangkah menuju kelasku yang baru.
Kini aku duduk di kelas 11 SMA dan jika aku tidak salah ingat, letak kelas 11 IPA berada di sebelah timur sekolah yang berdekatan dengan kantin. Tidak seperti biasanya, sekolah sudah cukup ramai pagi itu, padahal jam menunjukkan pukul 06.25 WIB. Masih 20 menit lagi sebelum bel jam pelajaran pertama berbunyi. Mungkin banyak siswa yang datang lebih awal untuk melihat kelas baru mereka, seperti yang juga aku lakukan saat ini. Aku mulai mencari namaku di daftar nama siswa yang ditempelkan di depan pintu masing-masing kelas. Aku tidak menemukan namaku di 11 IPA 1. Begitu pula di 11 IPA 2.
Helen Arystia Anggraini.
Ah, itu dia. Aku menemukan namaku tertera di daftar nama siswa kelas 11 IPA 3 pada urutan ke-12, yang aku duga akan menjadi nomor absensiku. Aku segera masuk ke dalam kelas dan melihat beberapa wajah yang terlihat tidak asing. Sepertinya mereka teman sekelasku juga saat kelas 10 kemarin. Mereka menatap ke arahku sekilas yang aku balas dengan senyuman samar. Aku cepat-cepat berlalu melewati mereka menuju ke tempat duduk favoritku. Tempat duduk di ujung depan kelas yang berhadapan langsung dengan meja guru. Seperti biasa, tempat duduk itu masih kosong karena tidak banyak siswa yang senang duduk di bangku paling depan. Namun aku menyukainya. Aku bisa lebih fokus mendengar penjelasan guru tanpa perlu merasa terganggu dengan teman-teman yang biasanya suka mengobrol selama pelajaran berlangsung.
Aku mengeluarkan buku novel dari dalam tas dan menghabiskan waktu membacanya sambil menunggu jam pelajaran pertama dimulai.
Saat itu, aku tidak pernah menyangka kalau hidupku akan berubah.

♪♪♪♪♥♥♥♪♪♪♪

Jam dinding yang terdapat di depan ruang kelas menunjukkan pukul 07.06 WIB saat Bu Sofi selesai memperkenalkan diri sebagai wali kelas kami. Aku yakin sebagian murid di kelas sudah banyak yang mengenal beliau karena beliau mengajar Bahasa Inggris di beberapa kelas 10, termasuk di kelasku dulu. Beliau guru yang ramah dan menyenangkan. Senang mengetahui bahwa beliau adalah wali kelasku yang baru.
Bu Sofi baru saja akan meninggalkan kelas karena pelajaran pertama hari ini−yaitu Biologi, akan segera dimulai ketika tiba-tiba seorang anak laki-laki dengan terburu-buru masuk ke dalam kelas.
Bu Sofi menggelengkan kepalanya pelan melihat anak laki-laki itu. “Hari pertama masuk sekolah kok sudah terlambat? Hari ini kenapa lagi, Brian?” tanya beliau dengan suara datar, tidak terdengar amarah sama sekali dalam nada bicaranya.
“Eh, Bu Sofi,” kata anak laki-laki yang sepertinya bernama Brian itu saat mendongakkan kepalanya yang sempat tertunduk setelah kelelahan berlari. “Maaf Bu, saya telat bangunnya habis main game semalaman hehe…”
“Kamu tuh ada-ada aja, Brian. Ya sudah sana cepat duduk,” kata Bu Sofi sambil mengusap puncak kepala Brian dengan gemas dan berlalu keluar kelas.
“Baik, Bu.”
Anak laki-laki itu kemudian mengedarkan pandangannya di penjuru kelas, mencari tempat duduk yang masih kosong. Biasanya jumlah siswa di kelas tidak mencapai 40 orang yang merupakan kuota bangku yang disediakan di tiap-tiap kelas, sehingga menyisakan satu atau dua bangku kosong. Sering kali bangku kosong itu adalah tempat duduk di sampingku.Ya, aku sudah terbiasa duduk sendirian di kelas. Namun sepertinya kali ini siswa yang berada di kelas 11 IPA 3 berjumlah pas 40 orang, karena saat itu satu-satunya bangku kosong yang tersisa adalah bangku di sebelahku.
Aku melihat anak laki-laki itu berjalan ke arahku. Ia tersenyum sebelum meletakkan tas hitamnya di kursi di sampingku.
“Hi, aku Brian,” katanya ramah sambil mengulurkan tangan kanannya ke depan wajahku.
Aku sempat ragu selama beberapa detik, namun memutuskan untuk membalas uluran tangannya dan menjabatnya dengan cepat. “Helen,” ucapku dengan suara serak.
“Senang berkenalan denganmu, Helen.” Dia masih menatapku selama beberapa saat sebelum melanjutkan, “hm, aku boleh duduk di sini, kan? Tidak ada bangku lain yang masih kosong. Kau tidak keberatan?”
Aku hampir saja tertawa melihat raut wajahnya yang lucu. Ia masih berusaha tersenyum yang kini justru terlihat kikuk. Apakah dia takut aku tidak akan mengijinkannya duduk di sini? “Tentu saja,” jawabku cepat. Sempat khawatir jika suaraku terdengar terlalu senang.
Ya, tentu saja aku senang. Aku bahkan tidak ingat kapan terakhir kali aku memiliki teman sebangku. Terutama karena Brian tampak seperti anak yang ramah. Tidak seperti kebanyakan anak laki-laki lain yang enggan berbicara denganku.
“Ah, terima kasih!” Dia langsung duduk di kursi di sampingku dan menyandarkan punggungnya ke kepala kursi seraya menarik nafas panjang. “Aku sampai takut kau tidak akan mengijinkanku duduk di sini.”
Aku memutar tubuhku kembali menghadap ke depan saat melihat seorang guru laki-laki berkacamata yang tampak berusia 40 tahunan  baru saja masuk ke dalam kelas. Sepertinya beliau adalah guru Biologi kami. “Kenapa kau berpikir seperti itu?” kataku dengan suara yang lebih pelan.
“Entahlah.” Aku dapat melihat dahinya yang sedikit berkerut ketika ia membuka tas ranselnya, seperti sedang menimbang-nimbang sesuatu. “Aku tidak tahu apakah aku bisa mengatakan ini karena kita baru saja berkenalan, tapi tadi wajahmu sedikit menyeramkan, kau tahu? Aku sempat berpikir apakah aku pernah berbuat kesalahan kepadamu sebelumnya sehingga kau kesal padaku dan menatapku dengan raut wajah seperti itu hehehe..” ucapnya sambil sedikit tertawa ke arahku.
Kenapa aku merasa seperti pernah mendengar hal serupa sebelumnya?

♪♪♪♪♥♥♥♪♪♪♪

“Bri, ayo buruan ke kantin, aku lapar nih.”
Brian dengan cepat membereskan buku dan alat tulis di atas mejanya lalu menoleh ke arahku. “Kau mau ikut?”
Aku melihat anak perempuan yang memanggil Brian itu kini juga ikut menatapku. “Ah, tidak, aku mau ke perpus.”
“Kenapa? Memangnya tidak lapar? Sekarang kan jam makan siang.” Gadis berambut hitam sepunggung itu kini tersenyum kepadaku dan mengulurkan tangannya yang tampak halus itu ke arahku. “Aku Silvia, teman satu kelas Brian saat kelas 10 kemarin. Hm, sebenarnya aku juga teman SMPnya. Aku sampai bosan harus satu kelas lagi dengannya.”
Aku tidak sempat membalas uluran tangan gadis bernama Silvia itu karena Brian langsung menggerutu mendengar ucapannya. “Hei, memangnya kau saja yang bosan? Aku juga bosan tahu sekelas lagi denganmu!”
“Oh, ya? Bukannya kau senang kau jadi bisa terus bertanya tentang pekerjaan rumah yang diberikan guru kepadaku?”
“Tidak!” kata Brian tidak mau kalah. “Mulai sekarang aku akan bertanya pada Helen saja. Dia pasti lebih rajin dibandingkan denganmu. Iya kan, Hel?”
Aku tersenyum melihat pertengkaran mereka. Mereka berdua pasti sangat akrab. “Yah, aku tidak keberatan jika kau mau bertanya mengenai pekerjaan rumah padaku.”
“Oh, aku peringatkan sebaiknya jangan. Sekali kau berbaik hati kepadanya, dia akan mengganggumu setiap hari,” ujar Silvia seakan memperingatkanku. Sempat terpikir olehku selama beberapa detik apakah ia serius dengan ucapannya atau itu hanya sebuah gurauan.
“Aku tidak seperti itu, ya! Enak saja!”
Silvia dan Brian mulai berlalu menuju pintu keluar kelas, sedangkan aku masih terdiam ragu di tempat dudukku. Apakah seharusnya aku mengikuti mereka? Atau aku pergi ke perpustakaan saja seperti yang biasa aku lakukan?
Aku terlalu sibuk dengan pikiranku sendiri hingga tidak sadar mereka tengah berhenti di depan pintu kelas dan menoleh ke arahku.
“Helen, apa yang kau lakukan? Ayo!”
Mereka pasti akan menganggapku aneh jika tiba-tiba menangis sekarang, bukan? Tetapi aku tidak pernah menyangka hal seperti ini akan terjadi kepadaku sebelumnya. Apakah… Apakah kini aku punya teman?
Aku masih tidak bergeming sampai Silvia kembali ke dalam kelas dan menarik pergelagan tanganku.
“Ayo, cepat. Aku sudah tidak sabar ingin makan bakso Pak Slamet di kantin,” ucapnya sambil memegang perutnya dengan tangannya yang bebas.
“Sebaiknya kau jangan membuat Silvia menunggu, terutama saat dia sedang kelaparan atau dia akan mengamuk dan memakanmu,” kata Brian seraya mengikuti kami dari belakang.
“Sstt, diam. Aku tidak serakus itu.”
Aku tersenyum melihat tangan Silvia yang masih menggenggam tanganku. Apakah seperti ini rasanya bergandengan tangan dengan teman? Sebelumnya aku  hanya dapat menerka-nerka mengapa orang-orang melakukan hal itu di sekolah. Tapi kini sedikit banyak aku mulai mengerti. Rasanya sangat nyaman ada seseorang yang berada di dekatmu dan mengajakmu pergi bersama dengannya.

♪♪♪♪♥♥♥♪♪♪♪

Sejak hari itu, aku jadi lebih banyak menghabiskan waktu istirahatku bersama dengan Brian dan Silvia ke kantin, dibandingkan pergi ke perpustakaan seperti yang biasa aku lakukan sebelumnya. Aku baru tahu kalau bakso Pak Slamet sangat enak dan terkenal di sekolah kami. Mungkin aku tidak akan mengetahuinya sampai aku lulus dari sekolah jika bukan karena mereka. Dan seperti yang Silvia pernah katakan mengenai Brian yang akan menggangguku dengan menanyakan tentang pekerjaan rumah, ternyata dia benar. Hampir setiap hari aku menerima pesan dari Brian dengan bunyi yang kurang lebih selalu sama. ‘Eh, besok ada PR apa ya, Hel?’ Aku rasa dia bahkan tidak mau repot-repot untuk mengetik ulang dan hanya meng-copy isi pesan yang sebelumnya dan mengirimnya kembali keesokan harinya, dan keesokannya harinya lagi.
Namun anehnya aku tidak pernah merasa keberatan. Mungkin aku bahkan menunggu-nunggu pesan dari Brian bila ia terlambat mengirimiku pesan lewat dari jam 7 malam seperti yang biasa ia lakukan. Silvia sesekali juga mengirimiku pesan jika ia mengalami kesulitan saat mengerjakan pekerjaan rumah yang diberikan oleh Pak Tomi, guru Matematika kami. Tidak pernah terpikirkan olehku sebelumnya bahwa aku akan memiliki teman yang sering menghubungiku. Sebelumnya handphoneku selalu terasa sepi tanpa adanya notifikasi. Kini bahkan secara otomatis aku akan tersenyum begitu mendengar handphoneku berbunyi. Ternyata sangat menyenangkan berkirim pesan dengan teman-teman di luar jam sekolah.
Aku sangat bersyukur bisa mengenal mereka berdua sampai aku tidak tahan untuk mengatakannya. Aku sempat khawatir mereka akan memandangku dengan aneh, namun mereka justru membuatku sangat lega karena telah mengatakannya.
“Aku sangat senang bisa mengenal kalian. Terima kasih karena sudah mau menjadi temanku.”
Saat itu kami sedang duduk-duduk di bangku panjang yang berada di depan kelas. Kami baru saja makan siomay di kantin dan kini tengah menikmati jus jeruk yang juga kami beli dari kantin sambil memperhatikan siswa-siswi yang berlalu lalang di koridor sekolah.
“Kau tahu, Helen, kami juga senang bisa menjadi temanmu,” kata Silvia yang duduk di samping kananku. “Kau teman yang sangat baik. Kau selalu mengajari kami saat kesulitan mengerjakan tugas, dan selalu menengahi saat aku cekcok dengan Brian. Biasanya orang-orang akan malas berada di tengah-tengah kami dan mendengar kami memperdebatkan hal-hal kecil yang tidak penting.”
“Astaga, itu benar,” sahut Brian setelah menghabiskan jus jeruknya dan membuangnya ke tempat sampah yang terletak tidak jauh dari tempat kami duduk. “Kau ingat Rani? Teman kita SMP dulu? Dia selalu menggerutu saat kita mulai berdebat. Katanya kita seperti Tom dan Jerry, dan mendengar kita berdua berseteru membuat kepalanya pusing.”
Silvia menganggukkan kepalanya setuju. “Bagaimana mungkin aku melupakannya,” katanya, dengan tawa disela-selanya. “Tidak membutuhkan waktu lama hingga dia menjauhi kita. Aku tidak tahu apakah aku seharusnya merasa bersalah kepadanya saat itu.”
Aku ikut tersenyum mendengarnya. Bisa membayangkan bagaimana rasanya di posisi seseorang bernama Rani itu. Namun tidak seperti yang dirasakan Rani, aku merasa senang bisa berada di tengah-tengah mereka.
“Aku sama sekali tidak pernah merasa pusing,” kataku sungguh-sungguh. “Aku justru terhibur dengan perdebatan aneh kalian yang menurutku sangat lucu. Ya, mungkin kalian memang terlihat seperti Tom dan Jerry, tapi di saat yang bersamaan kalian juga terlihat sangat akrab. Jujur, kadang aku merasa sedikit iri melihat kalian bisa begitu dekat.”
“Oh, Helen.” Silvia segera menarikku ke dalam pelukannya. “Kau tidak perlu merasa seperti itu. Aku dan Brian hanya kebetulan bisa bertemu lebih awal sehingga kami lebih dulu akrab. Kini kami sudah bertemu denganmu dan kita juga akan segera menjadi sangat dekat,” ujarnya yang terdengar tulus di telingaku.
“Ya, Silvia benar, Hel,” kata Brian menyetujui. “Aku bahkan heran bagaimana kau bisa tidak memiliki teman sebelumnya. Kau mungkin memang terlihat galak saat pertama kali aku bertemu denganmu, tapi setelah mengenalmu, kau jadi lebih banyak tersenyum dan terlihat lebih ramah. Mungkin banyak orang jadi tidak berani mendekatimu dan mengenalmu lebih jauh karena mereka pikir kau menyeramkan hahaha…”
Aku tertegun selama beberapa saat setelah mendengar apa yang dikatakan oleh Brian. Rasanya seperti déjà vu.
Aku melihat Brian tersenyum ke arahku dan melanjutkan. “Mungkin kau harus coba tersenyum dan menyapa orang lain terlebih dahulu, sehingga mereka akan tahu kalau kau tidak seburuk yang mereka pikirkan. Aku percaya kalau sebenarnya kau mudah akrab dengan orang lain, Hel.”

♪♪♪♪♥♥♥♪♪♪♪

Sekarang aku ingat mengapa ucapan Brian terdengar tidak asing di telingaku. Aku pernah mendengar seseorang mengatakan hal yang sama. Banyak orang tepatnya. Bisikan-bisikan yang sering aku dengar ketika aku duduk di bangku SMP dulu. Mungkin mereka mengira aku tidak dapat mendengarnya, tetapi aku dapat mendengarnya meskipun sedikit samar-samar. Mereka bilang aku terlihat galak, tanpa pernah benar-benar berusaha mencoba berbicara denganku. Itu hanya asumsi mereka. Tetapi entah mengapa aku tidak ambil pusing untuk sekadar membuktikan bahwa mereka sebenarnya salah. Aku hanya membiarkan mereka berpikir sesuka hati. Kalau mereka tidak mau repot-repot mendekatiku, kenapa aku harus? Lagipula aku tidak butuh siapa-siapa, walaupun terkadang ada saat di mana aku menerka-nerka bagaimana rasanya memiliki seorang teman. Begitulah yang aku pikirkan dulu.
Namun kini ada yang berbeda. Aku tidak lagi menerka-nerka. Aku tahu bagaimana menyenangkannya memiliki seorang teman, bahkan aku memiliki dua. Apakah aku harus mencoba untuk lebih terbuka? Mungkin sedikit usaha untuk membuktikan kalau aku tidak seperti yang orang lain pikirkan bukan hal yang buruk, kan? Ya, aku harap begitu…
Pagi itu, Pak Hasan−guru Biologi kami, memberikan tugas kelompok untuk presentasi di depan kelas. Untuk memudahkan penilaian, pembagian kelompok dilakukan sesuai dengan nomor absen. Aku berada di kelompok ketiga dengan nomor absen 12, Brian berada di kelompok pertama dengan nomor absen 2 dan Silvia berada di kelompok keenam dengan nomor absen 24. Aku sempat sedih dan cemas karena berada di kelompok yang berbeda dengan mereka.
Bagaimana ini…?
Aku melangkahkan kaki dengan tidak semangat menuju tempat duduk yang telah ditentukan sesuai dengan kelompok yang telah dibagi. Hanya ada satu tempat duduk kosong yang tersisa saat aku sampai di bangku Kelompok 3, sepertinya aku yang terakhir datang. Aku duduk dan meletakkan buku serta peralatan tulis yang kubawa. Aku mendongak dan melihat mereka sedang menatapku. Biasanya aku akan menunduk dan tidak mengacuhkan tatapan mereka yang membuatku tidak nyaman. Namun aku memutar kepalaku ke sisi kiri, ke tempat duduk Kelompok 1. Aku menatap Brian selama beberapa detik. Mungkin dia dapat merasakan seseorang tengah memperhatikannya karena detik berikutnya ia ikut menoleh dan tersenyum ke arahku. Aku merasa aneh karena tatapan itu membuatku menjadi lebih tenang.
Aku masih merasa tidak nyaman, tetapi kali ini aku ingin mencoba lebih berbaur dengan yang lainnya. Aku memutar kepalaku untuk kembali menghadap ke depan. Aku mengenali beberapa dari mereka. Gadis berkacamata bulat yang duduk di sebelah kiriku adalah Dian. Sedangkan di sebelahnya yang memiliki lesung pipi adalah Indri. Kalau tidak salah laki-laki yang duduk dihadapanku adalah Elang. Aku tidak tahu nama anak laki-laki yang duduk di sebelah kananku.
Aku menarik nafas panjang dan menghembuskannya secara perlahan. Ya, aku akan mencobanya.
“Jadi.. bagaimana kita akan membagi tugasnya?” Aku berharap suaraku tidak terdengar terlalu kaku.
Aku bisa melihat mereka sedikit terkejut namun cepat-cepat mengubah ekspresi wajahnya. Dian kemudian membuka suara untuk menjawab pertanyaanku, “Oh, kami baru akan mendiskusikannya. Apakah kau punya ide?”
Aku merasakan tubuhku sudah tidak setegang sebelumnya. Aku senang mereka mengacuhkanku dan bahkan menanyakan pendapatku.
“Hm, karena kelompok kita mendapatkan bab Sistem Ekskresi, bagaimana jika membaginya menjadi sub-bab kulit, ginjal, proses pembentukan urin, hati dan paru-paru? Masing-masing dari kita bisa mengerjakan satu sub-bab,” ucapku sambil membuka-buka catatan Biologiku.
“Itu terdengar bagus,” sahut Elang yang duduk di hadapanku. “Aku setuju.”
“Aku juga,” seru Indri mengikuti. “Kita tinggal menentukan siapa yang akan mengerjakan masing-masing sub-bab.”
“Erwin?” Dian menoleh ke arah laki-laki yang duduk di sebalah kananku yang belum bersuara.
“Tentu, aku  juga setuju.”
“Baiklah. Jadi kita semua setuju dengan ide Helen.” Dian melirik ke arahku dan tersenyum. ”Sekarang siapa yang mau mengerjakan sub-bab kulit?”
Aku tidak dapat menahan diriku untuk tersenyum. Perasaan lega ini belum pernah aku rasakan sebelumnya. Aku benar-benar bersyukur aku sudah mencoba. Sepintas terpikirkan olehku bagaimana seandainya aku mencoba lebih awal. Namun detik berikutnya aku sadar, aku tidak akan pernah mendapat keberanian ini jika bukan karena Brian dan Silvia. Mereka yang telah mengulurkan tangan terlebih dahulu ke arahku. Mereka yang  telah menyelamatkanku.

♪♪♪♪♥♥♥♪♪♪♪

Presentasi kami hari itu berjalan dengan lancar dan kelompokku mendapatkan nilai yang cukup memuaskan. Sejak tugas kelompok Biologi itu, Dian dan Indri mulai menyapaku di kelas dan terkadang mereka bertanya mengenai mata pelajaran yang sulit bagi mereka kepadaku. Dan entah bagaimana, anak-anak lain di kelas mulai mengikuti.
“Helen.”
Aku merasakan sesuatu menyentuh pundakku. Aku memutar kepalaku ke belakang dan melihat Ratih yang tersenyum lebar dengan bolpoin pilot yang dia gunakan untuk mencolek bahu kananku.
“Hel, tolong ajarkan aku yang soal nomor empat dong. Aku udah coba hitung, tapi kok tidak ketemu ya jawabannya?”
“Iya, aku juga belum ketemu nih jawabannya, Hel,” sahut Lia, teman sebangku Ratih.
Aku menggeser posisi kursiku agar aku bisa memutar menghadap ke belakang. Brian yang duduk di sampingku ikut mendengarkan saat aku menjelaskan soal matriks yang baru saja diberikan oleh Pak Tomi sebagai latihan soal.
Aku sangat senang saat mereka tersenyum kegirangan seraya berterima kasih setelah memahami soal yang aku ajarkan. Membuatku semakin semangat untuk terus belajar sehingga aku bisa lebih banyak lagi membantu teman-temanku. Aku tidak pernah sebersyukur ini telah belajar dengan giat.

♪♪♪♪♥♥♥♪♪♪♪

Tidak pernah terbayangkan sebelumnya seumur hidupku bahwa kehidupan sekolahku akan begitu menyenangkan. Rasanya seperti bermimpi. Aku mulai mengenal semua teman-teman sekelasku dan semuanya bersikap ramah kepadaku. Aku banyak menghabiskan waktu bersama Brian dan Silvia selama jam istirahat, bahkan beberapa kali mereka mengajakku keluar bersama di hari pekan−sesuatu yang tidak pernah aku lakukan sebelumnya. Kami pergi menonton film di bioskop sambil mengunyah popcorn, mengabadikan momen dengan berfoto di photobox, atau hanya sekedar makan bersama di tempat kuliner terkenal di Surabaya−yang juga baru aku ketahui belakangan ini dan langsung menyetujui mengapa tempat itu bisa begitu terkenal. Aku melakukan banyak hal untuk pertama kalinya dalam hidupku bersama mereka. Tidak ada yang aku inginkan selain agar bisa terus bersama dengan mereka. Mereka yang membuatku merasa begitu hidup.
“Wah, kembang apinya sudah akan dimulai!” Silvia berseru seiring semakin banyaknya orang yang memadati jalanan di sekitar Balai Kota Surabaya.
Malam ini adalah malam tahun baru. Kami berkumpul di rumah Brian yang berada di daerah Gunung Anyar sebelum bersama-sama pergi ke Balai Kota untuk menikmati kembang api yang selalu ditembakkan ke udara sebagai perayaan menyambut Tahun Baru. Dan seperti biasanya, ini adalah pengalaman pertamaku merayakan Tahun Baru bersama dengan teman.
Aku terpaku selama beberapa saat. Menyadari begitu banyak hal yang telah terjadi di tahun ini. Tahun terbaik yang pernah ada dalam hidupku.
Brian mengekor tepat di belakang Silvia. Ia berbalik ke belakang saat menyadari aku tidak mengikutinya. “Helen, kau sedang apa? Cepat kemari!”
Hembusan angin yang sejuk menerbangkan beberapa helai rambutku yang terlepas dari kuncir berbentuk pita yang aku kenakan. Aku mendongakkan kepalaku ke atas, menatap langit cerah yang berhiaskan bulan.
“Helen, jika tidak cepat kita akan kehilangan tempat yang strategis!”
Seketika aku tersenyum, menyadari betapa jelasnya aku bisa mendengar suara mereka di tengah-tengah keramaian seperti ini. Aku mengembalikan pandanganku ke depan dan bisa melihat Brian dan Silvia tengah menengok ke belakang dengan raut wajah keheranan. Mereka berdua adalah hadiah terbaik yang pernah aku dapatkan dalam hidupku, yang selalu mewarnai hari-hariku. Sahabat terbaikku.

FIN

No comments:

Post a Comment

Announcement!!

  Terima kasih buat semua yang udah menyempatkan waktu buat mampir dan baca artikel di blog ini selama ini. It’s means a lot for me! Sebag...