Aku pikir aku sudah terbiasa dengan
kesendirian. Aku pikir aku tidak membutuhkan orang lain agar aku merasa bahagia.
Aku pikir diriku sendiri sudahlah cukup. Aku pikir segalanya akan baik-baik
saja selama aku fokus dengan diriku sendiri. Namun, aku tidak pernah menyangka
satu kata sapaan saja dapat membuatku mempertanyakan kembali apakah yang aku
pikirkan selama ini merupakan suatu kebenaran, ataukah sekedar apa yang ingin
aku percayai saja. Aku mulai ragu bahwa bisa saja aku tidak sepenuhnya benar.
Bahwa mungkin tanpa aku sadari, aku sedang menunggu seseorang untuk datang
kepadaku…
Aku
merasa udara malam ini cukup sejuk. Langit Surabaya tampak cerah hingga kau
bisa melihat bulan dengan jelas. Oh, sejak kapan aku memperhatikan hal-hal
semacam ini? Aku bahkan tidak pernah peduli untuk memandang bulan sebelumnya.
“Helen,
jika tidak cepat kita akan kehilangan tempat yang strategis!”
Di
tengah hiruk pikuk orang-orang yang memadati jalanan di sekitar Balai Kota Surabaya
ini, aku masih bisa mendengar suaranya dengan jelas. Suara yang kini terasa
familiar memenuhi setiap hari-hariku. Suara favoritku. Bahkan mendengarnya saja
secara ajaib dapat membuatku tersenyum.
♪♪♪♪♥♥♥♪♪♪♪
Hari ini akan berlalu seperti
biasanya, begitulah yang aku pikirkan. Walaupun sepertinya cukup banyak siswa
sekolah yang menantikan tahun ajaran baru, tapi hari seperti itu tidak
berpengaruh banyak terhadapku. Papa akan mengantarku ke sekolah seperti biasa,
aku akan menghabiskan waktu dengan memperhatikan guru menerangkan pelajaran di
kelas dan aku akan pergi ke perpustakaan selama jam istirahat. Sama seperti
tahun ajaran sekolah sebelumnya. Dan sebelumnya lagi. Aku rasa setiap tahun
selalu begitu.
Aku
menghabiskan sepiring nasi goring dengan irisan sosis dan daging ayam dengan
lahap. Salah satu menu catering kesukaanku. Mama meninggal sejak aku kelas 3
SD. Aku hanya tinggal berdua dengan Papa di rumah. Namun Papa terlalu sibuk
bekerja untuk menyiapkan makanan sehingga kami berlangganan catering yang
diantarkan ke rumah tiap pagi. Sudah lama Papa tidak mempekerjakan asisten
rumah tangga karena beberapa ART sebelumnya banyak menimbulkan masalah. Mbak
Risa yang mengasuhku dulu masih cukup muda, ia tidak terlalu pandai memasak dan
lebih sering menghabiskan waktu berpacaran dengan laki-laki yang bekerja di
bengkel dekat dengan rumah. Mbok Nah yang merawatku sebelumnya cukup baik,
makanannya juga enak, namun Papa mendapati beberapa barang berharganya hilang
dan langsung memberhentikan Mbok Nah begitu menemukan salah satu jam tangannya
ada di meja di kamar Mbok Nah. Sejak saat itu kami tidak pernah memiliki asisten
rumah tangga lagi dan berbagi tugas dalam pekerjaan rumah.
Papa
tampak sudah siap untuk berangkat dengan jas kerjanya yang terlihat rapi di
tubuhnya. Aku mengikuti Papa keluar dari rumah dan tidak lupa mengunci pintu.
Jalanan menuju sekolah belum terlalu padat. Hanya membutuhkan waktu lima belas
menit dengan kendaraan bermotor untuk sampai di sekolah. Aku mengembalikan helm
kepada Papa sambil mencium tangannya. Kemudian menunggu sepeda motor Papa
berbelok di pertigaan jalan dan hilang dari pandanganku sebelum akhirnya aku
melangkah menuju kelasku yang baru.
Kini aku
duduk di kelas 11 SMA dan jika aku tidak salah ingat, letak kelas 11 IPA berada
di sebelah timur sekolah yang berdekatan dengan kantin. Tidak seperti biasanya,
sekolah sudah cukup ramai pagi itu, padahal jam menunjukkan pukul 06.25 WIB.
Masih 20 menit lagi sebelum bel jam pelajaran pertama berbunyi. Mungkin banyak
siswa yang datang lebih awal untuk melihat kelas baru mereka, seperti yang juga
aku lakukan saat ini. Aku mulai mencari namaku di daftar nama siswa yang
ditempelkan di depan pintu masing-masing kelas. Aku tidak menemukan namaku di
11 IPA 1. Begitu pula di 11 IPA 2.
Helen Arystia
Anggraini.
Ah, itu
dia. Aku menemukan namaku tertera di daftar nama siswa kelas 11 IPA 3 pada
urutan ke-12, yang aku duga akan menjadi nomor absensiku. Aku segera masuk ke
dalam kelas dan melihat beberapa wajah yang terlihat tidak asing. Sepertinya
mereka teman sekelasku juga saat kelas 10 kemarin. Mereka menatap ke arahku
sekilas yang aku balas dengan senyuman samar. Aku cepat-cepat berlalu melewati
mereka menuju ke tempat duduk favoritku. Tempat duduk di ujung depan kelas yang
berhadapan langsung dengan meja guru. Seperti biasa, tempat duduk itu masih
kosong karena tidak banyak siswa yang senang duduk di bangku paling depan.
Namun aku menyukainya. Aku bisa lebih fokus mendengar penjelasan guru tanpa
perlu merasa terganggu dengan teman-teman yang biasanya suka mengobrol selama
pelajaran berlangsung.
Aku
mengeluarkan buku novel dari dalam tas dan menghabiskan waktu membacanya sambil
menunggu jam pelajaran pertama dimulai.
Saat
itu, aku tidak pernah menyangka kalau hidupku akan berubah.
♪♪♪♪♥♥♥♪♪♪♪
Jam dinding yang terdapat di
depan ruang kelas menunjukkan pukul 07.06 WIB saat Bu Sofi selesai
memperkenalkan diri sebagai wali kelas kami. Aku yakin sebagian murid di kelas
sudah banyak yang mengenal beliau karena beliau mengajar Bahasa Inggris di
beberapa kelas 10, termasuk di kelasku dulu. Beliau guru yang ramah dan
menyenangkan. Senang mengetahui bahwa beliau adalah wali kelasku yang baru.
Bu Sofi
baru saja akan meninggalkan kelas karena pelajaran pertama hari ini−yaitu
Biologi, akan segera dimulai ketika tiba-tiba seorang anak laki-laki dengan terburu-buru
masuk ke dalam kelas.
Bu Sofi
menggelengkan kepalanya pelan melihat anak laki-laki itu. “Hari pertama masuk
sekolah kok sudah terlambat? Hari ini kenapa lagi, Brian?” tanya beliau dengan
suara datar, tidak terdengar amarah sama sekali dalam nada bicaranya.
“Eh, Bu
Sofi,” kata anak laki-laki yang sepertinya bernama Brian itu saat mendongakkan
kepalanya yang sempat tertunduk setelah kelelahan berlari. “Maaf Bu, saya telat
bangunnya habis main game semalaman
hehe…”
“Kamu
tuh ada-ada aja, Brian. Ya sudah sana cepat duduk,” kata Bu Sofi sambil
mengusap puncak kepala Brian dengan gemas dan berlalu keluar kelas.
“Baik,
Bu.”
Anak
laki-laki itu kemudian mengedarkan pandangannya di penjuru kelas, mencari
tempat duduk yang masih kosong. Biasanya jumlah siswa di kelas tidak mencapai
40 orang yang merupakan kuota bangku yang disediakan di tiap-tiap kelas,
sehingga menyisakan satu atau dua bangku kosong. Sering kali bangku kosong itu
adalah tempat duduk di sampingku.Ya, aku sudah terbiasa duduk sendirian di
kelas. Namun sepertinya kali ini siswa yang berada di kelas 11 IPA 3 berjumlah
pas 40 orang, karena saat itu satu-satunya bangku kosong yang tersisa adalah
bangku di sebelahku.
Aku
melihat anak laki-laki itu berjalan ke arahku. Ia tersenyum sebelum meletakkan
tas hitamnya di kursi di sampingku.
“Hi, aku
Brian,” katanya ramah sambil mengulurkan tangan kanannya ke depan wajahku.
Aku
sempat ragu selama beberapa detik, namun memutuskan untuk membalas uluran
tangannya dan menjabatnya dengan cepat. “Helen,” ucapku dengan suara serak.
“Senang
berkenalan denganmu, Helen.” Dia masih menatapku selama beberapa saat sebelum
melanjutkan, “hm, aku boleh duduk di sini, kan? Tidak ada bangku lain yang
masih kosong. Kau tidak keberatan?”
Aku
hampir saja tertawa melihat raut wajahnya yang lucu. Ia masih berusaha
tersenyum yang kini justru terlihat kikuk. Apakah dia takut aku tidak akan
mengijinkannya duduk di sini? “Tentu saja,” jawabku cepat. Sempat khawatir jika
suaraku terdengar terlalu senang.
Ya,
tentu saja aku senang. Aku bahkan tidak ingat kapan terakhir kali aku memiliki
teman sebangku. Terutama karena Brian tampak seperti anak yang ramah. Tidak
seperti kebanyakan anak laki-laki lain yang enggan berbicara denganku.
“Ah,
terima kasih!” Dia langsung duduk di kursi di sampingku dan menyandarkan
punggungnya ke kepala kursi seraya menarik nafas panjang. “Aku sampai takut kau
tidak akan mengijinkanku duduk di sini.”
Aku
memutar tubuhku kembali menghadap ke depan saat melihat seorang guru laki-laki
berkacamata yang tampak berusia 40 tahunan
baru saja masuk ke dalam kelas. Sepertinya beliau adalah guru Biologi
kami. “Kenapa kau berpikir seperti itu?” kataku dengan suara yang lebih pelan.
“Entahlah.”
Aku dapat melihat dahinya yang sedikit berkerut ketika ia membuka tas
ranselnya, seperti sedang menimbang-nimbang sesuatu. “Aku tidak tahu apakah aku
bisa mengatakan ini karena kita baru saja berkenalan, tapi tadi wajahmu sedikit
menyeramkan, kau tahu? Aku sempat berpikir apakah aku pernah berbuat kesalahan
kepadamu sebelumnya sehingga kau kesal padaku dan menatapku dengan raut wajah seperti
itu hehehe..” ucapnya sambil sedikit tertawa ke arahku.
Kenapa
aku merasa seperti pernah mendengar hal serupa sebelumnya?
♪♪♪♪♥♥♥♪♪♪♪
“Bri, ayo buruan ke kantin, aku
lapar nih.”
Brian
dengan cepat membereskan buku dan alat tulis di atas mejanya lalu menoleh ke
arahku. “Kau mau ikut?”
Aku
melihat anak perempuan yang memanggil Brian itu kini juga ikut menatapku. “Ah,
tidak, aku mau ke perpus.”
“Kenapa?
Memangnya tidak lapar? Sekarang kan jam makan siang.” Gadis berambut hitam
sepunggung itu kini tersenyum kepadaku dan mengulurkan tangannya yang tampak
halus itu ke arahku. “Aku Silvia, teman satu kelas Brian saat kelas 10 kemarin.
Hm, sebenarnya aku juga teman SMPnya. Aku sampai bosan harus satu kelas lagi
dengannya.”
Aku
tidak sempat membalas uluran tangan gadis bernama Silvia itu karena Brian
langsung menggerutu mendengar ucapannya. “Hei, memangnya kau saja yang bosan?
Aku juga bosan tahu sekelas lagi denganmu!”
“Oh, ya?
Bukannya kau senang kau jadi bisa terus bertanya tentang pekerjaan rumah yang
diberikan guru kepadaku?”
“Tidak!”
kata Brian tidak mau kalah. “Mulai sekarang aku akan bertanya pada Helen saja.
Dia pasti lebih rajin dibandingkan denganmu. Iya kan, Hel?”
Aku
tersenyum melihat pertengkaran mereka. Mereka berdua pasti sangat akrab. “Yah,
aku tidak keberatan jika kau mau bertanya mengenai pekerjaan rumah padaku.”
“Oh, aku
peringatkan sebaiknya jangan. Sekali kau berbaik hati kepadanya, dia akan
mengganggumu setiap hari,” ujar Silvia seakan memperingatkanku. Sempat terpikir
olehku selama beberapa detik apakah ia serius dengan ucapannya atau itu hanya
sebuah gurauan.
“Aku
tidak seperti itu, ya! Enak saja!”
Silvia
dan Brian mulai berlalu menuju pintu keluar kelas, sedangkan aku masih terdiam
ragu di tempat dudukku. Apakah seharusnya aku mengikuti mereka? Atau aku pergi
ke perpustakaan saja seperti yang biasa aku lakukan?
Aku
terlalu sibuk dengan pikiranku sendiri hingga tidak sadar mereka tengah
berhenti di depan pintu kelas dan menoleh ke arahku.
“Helen,
apa yang kau lakukan? Ayo!”
Mereka
pasti akan menganggapku aneh jika tiba-tiba menangis sekarang, bukan? Tetapi
aku tidak pernah menyangka hal seperti ini akan terjadi kepadaku sebelumnya.
Apakah… Apakah kini aku punya teman?
Aku
masih tidak bergeming sampai Silvia kembali ke dalam kelas dan menarik pergelagan
tanganku.
“Ayo,
cepat. Aku sudah tidak sabar ingin makan bakso Pak Slamet di kantin,” ucapnya
sambil memegang perutnya dengan tangannya yang bebas.
“Sebaiknya
kau jangan membuat Silvia menunggu, terutama saat dia sedang kelaparan atau dia
akan mengamuk dan memakanmu,” kata Brian seraya mengikuti kami dari belakang.
“Sstt,
diam. Aku tidak serakus itu.”
Aku tersenyum
melihat tangan Silvia yang masih menggenggam tanganku. Apakah seperti ini
rasanya bergandengan tangan dengan teman? Sebelumnya aku hanya dapat menerka-nerka mengapa orang-orang
melakukan hal itu di sekolah. Tapi kini sedikit banyak aku mulai mengerti.
Rasanya sangat nyaman ada seseorang yang berada di dekatmu dan mengajakmu pergi
bersama dengannya.
♪♪♪♪♥♥♥♪♪♪♪
Sejak hari itu, aku jadi lebih
banyak menghabiskan waktu istirahatku bersama dengan Brian dan Silvia ke kantin,
dibandingkan pergi ke perpustakaan seperti yang biasa aku lakukan sebelumnya.
Aku baru tahu kalau bakso Pak Slamet sangat enak dan terkenal di sekolah kami.
Mungkin aku tidak akan mengetahuinya sampai aku lulus dari sekolah jika bukan
karena mereka. Dan seperti yang Silvia pernah katakan mengenai Brian yang akan
menggangguku dengan menanyakan tentang pekerjaan rumah, ternyata dia benar.
Hampir setiap hari aku menerima pesan dari Brian dengan bunyi yang kurang lebih
selalu sama. ‘Eh, besok ada PR apa ya,
Hel?’ Aku rasa dia bahkan tidak mau repot-repot untuk mengetik ulang dan
hanya meng-copy isi pesan yang
sebelumnya dan mengirimnya kembali keesokan harinya, dan keesokannya harinya
lagi.
Namun
anehnya aku tidak pernah merasa keberatan. Mungkin aku bahkan menunggu-nunggu
pesan dari Brian bila ia terlambat mengirimiku pesan lewat dari jam 7 malam
seperti yang biasa ia lakukan. Silvia sesekali juga mengirimiku pesan jika ia
mengalami kesulitan saat mengerjakan pekerjaan rumah yang diberikan oleh Pak
Tomi, guru Matematika kami. Tidak pernah terpikirkan olehku sebelumnya bahwa
aku akan memiliki teman yang sering menghubungiku. Sebelumnya handphoneku selalu terasa sepi tanpa
adanya notifikasi. Kini bahkan secara otomatis aku akan tersenyum begitu
mendengar handphoneku berbunyi.
Ternyata sangat menyenangkan berkirim pesan dengan teman-teman di luar jam
sekolah.
Aku
sangat bersyukur bisa mengenal mereka berdua sampai aku tidak tahan untuk
mengatakannya. Aku sempat khawatir mereka akan memandangku dengan aneh, namun
mereka justru membuatku sangat lega karena telah mengatakannya.
“Aku
sangat senang bisa mengenal kalian. Terima kasih karena sudah mau menjadi
temanku.”
Saat itu
kami sedang duduk-duduk di bangku panjang yang berada di depan kelas. Kami baru
saja makan siomay di kantin dan kini tengah menikmati jus jeruk yang juga kami
beli dari kantin sambil memperhatikan siswa-siswi yang berlalu lalang di
koridor sekolah.
“Kau
tahu, Helen, kami juga senang bisa menjadi temanmu,” kata Silvia yang duduk di
samping kananku. “Kau teman yang sangat baik. Kau selalu mengajari kami saat
kesulitan mengerjakan tugas, dan selalu menengahi saat aku cekcok dengan Brian.
Biasanya orang-orang akan malas berada di tengah-tengah kami dan mendengar kami
memperdebatkan hal-hal kecil yang tidak penting.”
“Astaga,
itu benar,” sahut Brian setelah menghabiskan jus jeruknya dan membuangnya ke
tempat sampah yang terletak tidak jauh dari tempat kami duduk. “Kau ingat Rani?
Teman kita SMP dulu? Dia selalu menggerutu saat kita mulai berdebat. Katanya
kita seperti Tom dan Jerry, dan mendengar kita berdua berseteru membuat
kepalanya pusing.”
Silvia
menganggukkan kepalanya setuju. “Bagaimana mungkin aku melupakannya,” katanya,
dengan tawa disela-selanya. “Tidak membutuhkan waktu lama hingga dia menjauhi
kita. Aku tidak tahu apakah aku seharusnya merasa bersalah kepadanya saat itu.”
Aku ikut
tersenyum mendengarnya. Bisa membayangkan bagaimana rasanya di posisi seseorang
bernama Rani itu. Namun tidak seperti yang dirasakan Rani, aku merasa senang
bisa berada di tengah-tengah mereka.
“Aku
sama sekali tidak pernah merasa pusing,” kataku sungguh-sungguh. “Aku justru
terhibur dengan perdebatan aneh kalian yang menurutku sangat lucu. Ya, mungkin
kalian memang terlihat seperti Tom dan Jerry, tapi di saat yang bersamaan
kalian juga terlihat sangat akrab. Jujur, kadang aku merasa sedikit iri melihat
kalian bisa begitu dekat.”
“Oh,
Helen.” Silvia segera menarikku ke dalam pelukannya. “Kau tidak perlu merasa
seperti itu. Aku dan Brian hanya kebetulan bisa bertemu lebih awal sehingga
kami lebih dulu akrab. Kini kami sudah bertemu denganmu dan kita juga akan
segera menjadi sangat dekat,” ujarnya yang terdengar tulus di telingaku.
“Ya,
Silvia benar, Hel,” kata Brian menyetujui. “Aku bahkan heran bagaimana kau bisa
tidak memiliki teman sebelumnya. Kau mungkin memang terlihat galak saat pertama
kali aku bertemu denganmu, tapi setelah mengenalmu, kau jadi lebih banyak
tersenyum dan terlihat lebih ramah. Mungkin banyak orang jadi tidak berani
mendekatimu dan mengenalmu lebih jauh karena mereka pikir kau menyeramkan
hahaha…”
Aku
tertegun selama beberapa saat setelah mendengar apa yang dikatakan oleh Brian.
Rasanya seperti déjà vu.
Aku
melihat Brian tersenyum ke arahku dan melanjutkan. “Mungkin kau harus coba
tersenyum dan menyapa orang lain terlebih dahulu, sehingga mereka akan tahu
kalau kau tidak seburuk yang mereka pikirkan. Aku percaya kalau sebenarnya kau
mudah akrab dengan orang lain, Hel.”
♪♪♪♪♥♥♥♪♪♪♪
Sekarang aku ingat mengapa ucapan
Brian terdengar tidak asing di telingaku. Aku pernah mendengar seseorang
mengatakan hal yang sama. Banyak orang tepatnya. Bisikan-bisikan yang sering
aku dengar ketika aku duduk di bangku SMP dulu. Mungkin mereka mengira aku
tidak dapat mendengarnya, tetapi aku dapat mendengarnya meskipun sedikit samar-samar.
Mereka bilang aku terlihat galak, tanpa pernah benar-benar berusaha mencoba
berbicara denganku. Itu hanya asumsi mereka. Tetapi entah mengapa aku tidak
ambil pusing untuk sekadar membuktikan bahwa mereka sebenarnya salah. Aku hanya
membiarkan mereka berpikir sesuka hati. Kalau mereka tidak mau repot-repot
mendekatiku, kenapa aku harus? Lagipula aku tidak butuh siapa-siapa, walaupun
terkadang ada saat di mana aku menerka-nerka bagaimana rasanya memiliki seorang
teman. Begitulah yang aku pikirkan dulu.
Namun
kini ada yang berbeda. Aku tidak lagi menerka-nerka. Aku tahu bagaimana
menyenangkannya memiliki seorang teman, bahkan aku memiliki dua. Apakah aku
harus mencoba untuk lebih terbuka? Mungkin sedikit usaha untuk membuktikan
kalau aku tidak seperti yang orang lain pikirkan bukan hal yang buruk, kan? Ya,
aku harap begitu…
Pagi itu,
Pak Hasan−guru Biologi kami, memberikan tugas kelompok untuk presentasi di
depan kelas. Untuk memudahkan penilaian, pembagian kelompok dilakukan sesuai
dengan nomor absen. Aku berada di kelompok ketiga dengan nomor absen 12, Brian
berada di kelompok pertama dengan nomor absen 2 dan Silvia berada di kelompok
keenam dengan nomor absen 24. Aku sempat sedih dan cemas karena berada di
kelompok yang berbeda dengan mereka.
Bagaimana ini…?
Aku
melangkahkan kaki dengan tidak semangat menuju tempat duduk yang telah
ditentukan sesuai dengan kelompok yang telah dibagi. Hanya ada satu tempat
duduk kosong yang tersisa saat aku sampai di bangku Kelompok 3, sepertinya aku
yang terakhir datang. Aku duduk dan meletakkan buku serta peralatan tulis yang
kubawa. Aku mendongak dan melihat mereka sedang menatapku. Biasanya aku akan
menunduk dan tidak mengacuhkan tatapan mereka yang membuatku tidak nyaman.
Namun aku memutar kepalaku ke sisi kiri, ke tempat duduk Kelompok 1. Aku
menatap Brian selama beberapa detik. Mungkin dia dapat merasakan seseorang
tengah memperhatikannya karena detik berikutnya ia ikut menoleh dan tersenyum
ke arahku. Aku merasa aneh karena tatapan itu membuatku menjadi lebih tenang.
Aku
masih merasa tidak nyaman, tetapi kali ini aku ingin mencoba lebih berbaur
dengan yang lainnya. Aku memutar kepalaku untuk kembali menghadap ke depan. Aku
mengenali beberapa dari mereka. Gadis berkacamata bulat yang duduk di sebelah
kiriku adalah Dian. Sedangkan di sebelahnya yang memiliki lesung pipi adalah Indri.
Kalau tidak salah laki-laki yang duduk dihadapanku adalah Elang. Aku tidak tahu
nama anak laki-laki yang duduk di sebelah kananku.
Aku
menarik nafas panjang dan menghembuskannya secara perlahan. Ya, aku akan mencobanya.
“Jadi..
bagaimana kita akan membagi tugasnya?” Aku berharap suaraku tidak terdengar
terlalu kaku.
Aku bisa
melihat mereka sedikit terkejut namun cepat-cepat mengubah ekspresi wajahnya.
Dian kemudian membuka suara untuk menjawab pertanyaanku, “Oh, kami baru akan
mendiskusikannya. Apakah kau punya ide?”
Aku
merasakan tubuhku sudah tidak setegang sebelumnya. Aku senang mereka
mengacuhkanku dan bahkan menanyakan pendapatku.
“Hm,
karena kelompok kita mendapatkan bab Sistem Ekskresi, bagaimana jika membaginya
menjadi sub-bab kulit, ginjal, proses pembentukan urin, hati dan paru-paru?
Masing-masing dari kita bisa mengerjakan satu sub-bab,” ucapku sambil
membuka-buka catatan Biologiku.
“Itu
terdengar bagus,” sahut Elang yang duduk di hadapanku. “Aku setuju.”
“Aku
juga,” seru Indri mengikuti. “Kita tinggal menentukan siapa yang akan
mengerjakan masing-masing sub-bab.”
“Erwin?”
Dian menoleh ke arah laki-laki yang duduk di sebalah kananku yang belum
bersuara.
“Tentu,
aku juga setuju.”
“Baiklah.
Jadi kita semua setuju dengan ide Helen.” Dian melirik ke arahku dan tersenyum.
”Sekarang siapa yang mau mengerjakan sub-bab kulit?”
Aku
tidak dapat menahan diriku untuk tersenyum. Perasaan lega ini belum pernah aku
rasakan sebelumnya. Aku benar-benar bersyukur aku sudah mencoba. Sepintas
terpikirkan olehku bagaimana seandainya aku mencoba lebih awal. Namun detik
berikutnya aku sadar, aku tidak akan pernah mendapat keberanian ini jika bukan
karena Brian dan Silvia. Mereka yang telah mengulurkan tangan terlebih dahulu
ke arahku. Mereka yang telah
menyelamatkanku.
♪♪♪♪♥♥♥♪♪♪♪
Presentasi kami hari itu berjalan
dengan lancar dan kelompokku mendapatkan nilai yang cukup memuaskan. Sejak
tugas kelompok Biologi itu, Dian dan Indri mulai menyapaku di kelas dan
terkadang mereka bertanya mengenai mata pelajaran yang sulit bagi mereka
kepadaku. Dan entah bagaimana, anak-anak lain di kelas mulai mengikuti.
“Helen.”
Aku
merasakan sesuatu menyentuh pundakku. Aku memutar kepalaku ke belakang dan
melihat Ratih yang tersenyum lebar dengan bolpoin pilot yang dia gunakan untuk mencolek bahu kananku.
“Hel,
tolong ajarkan aku yang soal nomor empat dong. Aku udah coba hitung, tapi kok
tidak ketemu ya jawabannya?”
“Iya,
aku juga belum ketemu nih jawabannya, Hel,” sahut Lia, teman sebangku Ratih.
Aku
menggeser posisi kursiku agar aku bisa memutar menghadap ke belakang. Brian
yang duduk di sampingku ikut mendengarkan saat aku menjelaskan soal matriks
yang baru saja diberikan oleh Pak Tomi sebagai latihan soal.
Aku sangat
senang saat mereka tersenyum kegirangan seraya berterima kasih setelah memahami
soal yang aku ajarkan. Membuatku semakin semangat untuk terus belajar sehingga
aku bisa lebih banyak lagi membantu teman-temanku. Aku tidak pernah sebersyukur
ini telah belajar dengan giat.
♪♪♪♪♥♥♥♪♪♪♪
Tidak pernah terbayangkan
sebelumnya seumur hidupku bahwa kehidupan sekolahku akan begitu menyenangkan.
Rasanya seperti bermimpi. Aku mulai mengenal semua teman-teman sekelasku dan
semuanya bersikap ramah kepadaku. Aku banyak menghabiskan waktu bersama Brian
dan Silvia selama jam istirahat, bahkan beberapa kali mereka mengajakku keluar
bersama di hari pekan−sesuatu yang tidak pernah aku lakukan sebelumnya. Kami
pergi menonton film di bioskop sambil mengunyah popcorn, mengabadikan momen dengan berfoto di photobox, atau hanya sekedar makan bersama di tempat kuliner
terkenal di Surabaya−yang juga baru aku ketahui belakangan ini dan langsung
menyetujui mengapa tempat itu bisa begitu terkenal. Aku melakukan banyak hal
untuk pertama kalinya dalam hidupku bersama mereka. Tidak ada yang aku inginkan
selain agar bisa terus bersama dengan mereka. Mereka yang membuatku merasa
begitu hidup.
“Wah,
kembang apinya sudah akan dimulai!” Silvia berseru seiring semakin banyaknya
orang yang memadati jalanan di sekitar Balai Kota Surabaya.
Malam
ini adalah malam tahun baru. Kami berkumpul di rumah Brian yang berada di
daerah Gunung Anyar sebelum bersama-sama pergi ke Balai Kota untuk menikmati
kembang api yang selalu ditembakkan ke udara sebagai perayaan menyambut Tahun
Baru. Dan seperti biasanya, ini adalah pengalaman pertamaku merayakan Tahun
Baru bersama dengan teman.
Aku
terpaku selama beberapa saat. Menyadari begitu banyak hal yang telah terjadi di
tahun ini. Tahun terbaik yang pernah ada dalam hidupku.
Brian
mengekor tepat di belakang Silvia. Ia berbalik ke belakang saat menyadari aku
tidak mengikutinya. “Helen, kau sedang apa? Cepat kemari!”
Hembusan
angin yang sejuk menerbangkan beberapa helai rambutku yang terlepas dari kuncir
berbentuk pita yang aku kenakan. Aku mendongakkan kepalaku ke atas, menatap
langit cerah yang berhiaskan bulan.
“Helen,
jika tidak cepat kita akan kehilangan tempat yang strategis!”
Seketika
aku tersenyum, menyadari betapa jelasnya aku bisa mendengar suara mereka di tengah-tengah
keramaian seperti ini. Aku mengembalikan pandanganku ke depan dan bisa melihat
Brian dan Silvia tengah menengok ke belakang dengan raut wajah keheranan.
Mereka berdua adalah hadiah terbaik yang pernah aku dapatkan dalam hidupku,
yang selalu mewarnai hari-hariku. Sahabat terbaikku.
FIN
No comments:
Post a Comment